Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber tepercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan.
Dampak pembalakan liar
Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektare setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.
Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektare per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektare pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004).
UNDANG-UNDANG Inpres No.4 Thn 2005 Tentang Illegal Logging
Dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan ini menginstruksikan:
Kepada :
1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
2. Menteri Kehutanan;
3. Menteri Keuangan;
4. Menteri Dalam Negeri;
5. Menteri Perhubungan;
6. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
7. Menteri Luar Negeri;
8. Menteri Pertahanan;
9. Menteri Perindustrian;
10. Menteri Perdagangan;
11. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
12. Menteri Negara Lingkungan Hidup;
13. Jaksa Agung;
14. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
15. Panglima Tentara Nasional Negara;
16. Kepala Badan Intelijen Negara;
17. Para Gubernur;
18. Para Bupati/Walikota;
Untuk :
PERTAMA :
1. Melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:
a. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
b. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
c. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.
d. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
e. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
2. Menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas dilingkup instansinya yang terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
3. Melakukan kerjasama dan saling berkoordinasi untuk melaksanakan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
4. Memanfaatkan informasi dari masyarakat yang berkaitan dengan adanya kegiatan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya.
5. Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dan atau alat-alat bukti lain yang digunakan dalam kejahatan dan atau alat angkutnya untuk penyelamatan nilai ekonomisnya.
KEDUA :
Khusus kepada :
1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan:
a. Mengkoordinasikan seluruh instansi terkait sebagaimana dalam Instruksi Presiden ini dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
b. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melaksanakan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia atas pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya secara periodik setiap 3 (tiga) bulan, kecuali pada kasus-kasus yang mendesak.
2. Menteri Kehutanan:
a. Meningkatkan penegakan hukum bekerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan serta aparat terkait terhadap pelaku berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melalui kegiatan operasi intelijen, preventif, represif, dan yustisi.
b. Menetapkan dan memberikan insentif bagi pihak-pihak yang berjasa dalam kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya.
c. Mengusulkan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga terlibat kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
3. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia:
a. Menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
b. Melindungi dan mendampingi aparat kehutanan yang melaksanakan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
c. Menempatkan petugas Kepolisian Republik Indonesia di lokasi rawan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya sesuai kebutuhan.
4. Jaksa Agung :
a. Melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundangan yang berlaku dan terkait dengan tindak pidana di bidang kehutanan.
b. Mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun tahap eksekusi.
5. Panglima Tentara Nasional Indonesia :
a. Menangkap setiap pelaku yang tertangkap tangan melakukan penebangan dan peredaran kayu ilegal serta penyelundupan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Republik Indonesia melalui darat atau perairan berdasarkan bukti awal yang cukup dan diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Meningkatkan pengamanan terhadap batas wilayah negara yang rawan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan perairannya.
6. Menteri Keuangan :
a. Mengalokasikan biaya yang digunakan untuk pelaksanaan Instruksi Presiden ini melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada masing-masing instansi untuk kegiatan operasional maupun insentif bagi pihak yang berjasa.
b. Menginstruksikan kepada aparat Bea Cukai untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap lalu lintas kayu di daerah pabean.
7. Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah yang berkaitan dengan bidang kehutanan dan mempercepat penyampaian rekomendasi pencabutan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
8. Menteri Perhubungan :
a. Meningkatkan pengawasan perizinan di bidang angkutan yang mengangkut kayu.
b. Menginstruksikan kepada seluruh Administrator Pelabuhan dan Kepala Kantor Pelabuhan agar tidak memberikan izin pelayaran kepada kapal yang mengangkut kayu ilegal.
c. Menindak tegas perusahaan pengangkutan dan pelayaran yang mengangkut kayu ilegal dengan mencabut izin usaha pelayaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Membina organisasi angkutan dalam rangka mendukung pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
9. Para Gubernur :
a. Mencabut dan merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
b. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Provinsi dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya melalui operasi preventif dan represif.
c. Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya.
e. Meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya.
f. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
g. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
10. Bupati/Walikota :
a. Mencabut atau merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Bupati/Keputusan Walikota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
b. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Kabupaten/Kota dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya melalui operasi preventif dan represif.
c. Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya.
e. Mengawasi secara lebih intensif kinerja pejabat penerbit dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) di wilayahnya.
f. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
g. Menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur peredaran kepemilikan dan penggunaan gergaji rantai (chainsaw) dan sejenisnya.
h. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melalui Gubernur.
KETIGA :
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Kepala Badan Intelijen Negara, agar memberikan dukungan dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya kepada instansi sebagaimana diktum KEDUA.
KEEMPAT :
Dengan berlakunya Instruksi Presiden ini, maka Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting dinyatakan tidak berlaku.
KELIMA :
Agar melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan penuh tanggung jawab.
Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.
Dikeluarkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2005
pada tanggal 18 Maret 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
ttd.
Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
ttd.
Lambock V. Nahattands
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
ttd.
Lambock V. Nahattands
(Sumber : http://illegalloggingwatch.wordpress.com)
0 komentar:
Posting Komentar